Riba
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di
dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas
Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang
Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di
negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui
bahwa di dunia Kristen pun, selama satu milenium, riba adalah barang terlarang
dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi
berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian
terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam.
Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga
Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri
mengenai riba.
Dalam
Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah
haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
“padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Pandangan ini juga
yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi
penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah tersebut maka pada kesempatan kali ini penulis
akan membahas masalah tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang
di maksud dengan riba’?
2.
Bagaimana
definisi riba’ menurut para ahli?
3.
Apa saja
dalil Al-Qur’an dan Hadist yang melarang riba dan bagaimana pendapat imam
ar-Rawi yang memberikan alasan atas pengharaman riba?
4.
Apa saja
jenis – jenis riba’ dan bagaimana contoh dari masing – masing riba tersebut?
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Definisi Riba’
Riba
secara literal berarti bertambah, berkembang, atau tumbuh. Akan tetapi, tidak
setiap tambahan atau pertumbuhan itu dilarang oleh Islam.
Riba
secara bahasa bermakna Ziyadah (tambahan).
Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berartitumbuh dan membesar. Adapun
menurut istilah teknis, riba’ berarti pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara batil. Ada beberapa pendaat dalam menjelaskan riba’, namun
secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba’ adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan kita semua
dengan firman-Nya dalam surat an-Nisa ayat 29 yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalam
kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam
ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya,Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang di
maksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”
Yang di maksud dengan transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya
penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa. Dalam
transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si
penyewa.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana secara
konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa
adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan
faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil
disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus,
mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian
juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu
semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
B. Definisi riba’ menurut beberapa
ahli
1.
Badr
ad-Din al-Ayni, pengarang Umtadul Qari Syarah Shahih
al-Bukhari, beliau mengatakan bahwa “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba
berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang rill”
2.
Imam
Sarakshi dari Mazhab Hanafi, beliau mengatakan bahwa “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”
3.
Raghib
al-Asfahani, beliau mengatakan bahwa “Riba adalah penambahan atas
harta pokok”
4.
Qatadah,
beliau mengatakan bahwa “Riba jahiliah adalah seseorang
yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang
saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayarnya, maka ia memberikan tambahan
atas penangguhan”
5.
Mujahid,
beliau mengatakan bahwa “Mereka menjual dagangannya
dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan tidak mampu membayarnya maka si
pembeli memberikan tambahan atas tambahan waktu”
6.
Zaid bin
Aslam, beliau mengatakan bahwa “Yang di maksud dengan riba
jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang
yang memilki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia berkata ‘bayar
sekarang atau tambah’
C. Dalil –
dalil Larangan riba’ dalam Al-Qur’an dan Hadist
Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya.
Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari
berbagai surah dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw.
1. Larangan riba dalam Al-Qur’an
Larangan
riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak di turunkan sekaligus, melainkan
diturunkan secara bertahap dalam empat tahap. Tahap pertama,
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong
mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekatkan diri kepada Allah:
Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya). (Ar-Rum: 39)
Tahap
kedua¸ riba
digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi
balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba:
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami
haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
(an-Nisa: 160-161)
Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal
Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap
ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada
suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang
banyak dipraktikan pada masa tersebut. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
Riba dengan berlipat ganda. dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.
Tahap
akhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas
mengharamkan apaun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman itu. ini adalah
ayat terakhir yang diturunkan menyangkut dengan riba’
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
2. Larangan riba dalam As-Sunnah
Di
riwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah
melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama
beratnya, dan membolehkan kita menjal emas dengan perak dan begitu juga
sebaliknya sesuai dengan keinginan kita” (Hadits Riwayat Bukhari no.234, kitab Buyu).
Di riwayatkan
oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda “Emas hendaknya dibayar
dengan emas, perak dengan perak, gandung dengan gandum, tepung dengan tepung,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan
(cash).barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia
telah berurusan dengan riba. penerima dan pemberi sama – sama bersalah” (Hadits Riwayat Muslim no.2971, dalam kitab
asaqqah)
jabir
berkata Rasulullah mengutuk orang yang menerima riab, orang yang membayarnya
dan orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya kemudian beliau bersabda
“mereka itu semua sama” (Hadits Riwayat Muslim no.2995, dalam kitab Masaqqah)
Di
riwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda “Tuhan sesungguhnya
berlaku adil kerena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak
mendapatkan petunjuk dari-Nya. mereka itu adalah peminum arak, pemakan riba,
pemakan harta anak yatim dan mereka yang tidak bertanggung jawab/melantarkan
ibu-bapaknya”.
3. Alasan Pelarangan riba’ menurut
imam ar-Razi
Imam
ar-Razi mencoba menjelaskan alasan pelarangna riba. Pertama, karena riba berarti mengambil harta si
peminjam secara tidak adil. pemilik uang biasanya berdalih ia berhak atas
keuntunga bisnis yang dilakukan si peminjam. namun, tampaknya dia lupa bila ia
tidak meminjamkan, uangnya tidak bertambah. iapun berdalih kesempatannya
berbisnis hilang karena belum tentu bisnisnya menghasilkan untung dan yang
pasti ia harus menanggung resiko bisnis.
kedua, dengan riba, seseorang akan malas bekerja dan
berbisnis karena dapat duduk-duduk tenang sambil menunggu uangnya berbunga.
imam razi mengatakan bahwa kegiatan produksi dan perdagangan akan lesu. lihat
saja saat ini, bisnis mana yang akan berkembang dengan bunga 60%?
ketiga, riba akan merendahkan martabat manusia karena untuk
memenuhi syarat hasrat dunianya seseorang tidak segan-segan meminjam dengan
bunga tinggi walau akhirnya dikejar – kejar si penagih utang. saat ini, berapa
banyak orang yang terpandang kedudukannya menjadi pesakitan karena tidak mampu
membayar bunga kartu kreditnya.
keempat, riba akan membuat yang kaya bertambah kaya dan si
miskin bertambah miskin.dalam masa krisis saat ini, orang kaya malah
bertambah kaya karena bunga deposito dan simpanan dolarnya.5
D. Jenis – jenis riba’
Riba
terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba
jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba qaradl; (4) riba yadd.
1. Riba Nasii`ah.
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena
penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja
apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau
sebagai tambahan hutang baru.
Misalnya,
si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B
harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B
menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009),
maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari
total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas
keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru
karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang
disebut dengan riba nasii’ah.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim;
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
Riba itu dalam nasi’ah”.(HR Muslim dari Ibnu Abbas)
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan
kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah, sesungguhnya riba itu
dalam nasi’ah”. (HR Muslim).
2. Riba Fadlal
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan
pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang
dituturkan oleh Imam Muslim.
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila
jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.(HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا
بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas
dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal;
barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah
riba”. (HR
Muslim dari Abu Hurairah).
عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا
فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي
صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“
“Dari
Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua belas
dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan
merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan
kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara
emas dengan lainnya)”. (HR Muslim dari Fudhalah)
Dari Said
bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:
أن رسول
الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر
جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ
تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع
[نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك
الميزان“
“Sesungguhnya
Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di
Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma
yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua
kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah .
Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari al-jam’ (salah satu
jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran kurma). Rasulullah saw
bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi (tukarlah) yang setara atau juallah
kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma yang bagus) dengan uang hasil
penjualan itu. Demikianlah timbangan itu”. (HR Muslim).
Para
ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi (emas, perak, gandum, sya’ir,
kurma dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi.
Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter
asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara
komoditi yang sama -misalnya kurma dengan kurma, emas dengan
emas, gandum dengan gandum-, maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan.
Persyaratan
pertama, transaksi harus dilakukan secara
kontan (tunai). Sehingga penyerahan barang yang dibarterkan harus dilakukan
pada saat terjadi akad transaksi dan tidak boleh ditunda seusai akad atau
setelah kedua belah pihak yang mengadakan akad barter berpisah, walaupun hanya
sejenak.
Misalnya, kurma kualitas bagus sebanyak 2 kg ingin
dibarter dengan kurma lama sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi.
Kurma lama harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal
satu jam atau satu hari) ketika akad barter. Pembahasan ini akan masuk riba
jenis kedua yaitu riba nasi’ah (riba karena adanya penundaan).
Persyaratan
kedua, barang yang menjadi objek barter harus
sama jumlah dan takarannya, walau terjadi perbedaan mutu antara kedua barang.
Misalnya, Ahmad ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5
gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 24
karat dilebihkan misalnya jadi 7 gram. Jika dilebihkan, maka terjadilah riba
fadhl. Jika dua syarat di atas tidak terpenuhi, maka jual beli di atas tidaklah
sah dan jika barangnya dimakan, berarti telah memakan barang yang haram.
3. Riba al-Yadd.
Riba yang
disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan
kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah
berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Riba Yad juga
merupakan riba yang terdapat pada jual beli tidak secara tunai karena adanya
penangguhan pembayaran. Dalam hal ini, penjual menetapkan harga yang yang
berbeda pada barang yang sama antara pembeli tunai dan pembeli tidak tunai.
Perbedaan harga inilah yang menurut sebagian ulama termasuk riba karena adanya
penambahan harga. Menurut para ulama, hal ini merugikan pembeli. Laranganriba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits
berikut ini;
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan
dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR
al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
الْوَرِقُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Perak
dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba
kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma
dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“. [Ibnu
Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]
Misalnya, sebuah televise jika membeli secara tunai
harga 1 juta rupiah, tetapi jika membeli secara kredit harganya menjadi 1,5
juta rupiah. Tambahan 500 ribu rupiah tersebut termasuk riba. Berbeda halnya
jika penjual tidak menyebutkan harga tuani. Artinya, penjual memang menjual
televisinya secara kredit, tidak secara tunai. Dalam hal ini, penjualan
tersebut tidak termasuk riba karena tidak ada penambahan harga dari harga beli
secara tunai. Itu sebabnya, penjual menjual televise secara kredit, tidak
secara tunai. Jadi otomatis tidak ada perbedaan harga.
4. Riba Qardhy.
Riba qardhy adalah meminjam uang kepada seseorang
dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan
hadits-hadits berikut ini;
Imam
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan
Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau
berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila
engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu
berupa rumput kering, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima.
Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh
memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi
jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini
lebih dilarang lagi.
Riba
dalam hutang piutang di sini sebenarnya dapat digolongkan dalam riba nasi’ah.
Yang dimaksud denganriba al qardh dapat dicontohkan dengan
meminjamkan uang seratus ribu lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika pengembalian.
Keuntungan ini bisa berupa materi atau pun jasa. Ini semua adalah riba dan pada
hakekatnya bukan termasuk mengutangi. Karena yang namanya mengutangi adalah
dalam rangka tolong menolong dan berbuat baik. Jadi –sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di-, jika bentuk utang piutang yang di
dalamnya terdapat keuntungan, itu sama saja dengan menukar dirham dengan dirham
atau rupiah dengan rupiah kemudian keuntungannya ditunda.
Misalnya Ahmad
meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan
mensyaratkanagar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000
maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
Praktek-praktek
riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan
kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba
fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis
riba itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram
dilakukan oleh seorang Muslim.6
G. Hikmah di haramkannya riba
Beberapa hikmah yang amat besar dengan diharamkannya
riba’ antara lain karena
1.
Riba’
menghilangkan faedah berhutang piutang yang menjadi tulang punggung gotong
royong atas kebajikan dan taqwa.
2.
Riba’
menimbulkan dan menanamkan jiwa permusuhan antara beberapa individu manusia
3.
Riba’
melenyapkan manfaat dan kepentingan yang wajib disampaikan kepada orang yang
sangat membutuhkan dan menderita
4.
Riba’
menimbulkan mental orang yang suka hidup mewah dan boros serta ingin memperoleh
hasil besar tanpa kerja keras diatas kesusahan orang lain
5.
Riba’
merupakan jalan atau cara untuk menjajah orang karena yang meminjam tidak dapat
mengembalikan pinjamannya
BAB 3
PENUTUP
1. Kesimpulan
Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan,
menutur etimologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau
imbalan atau nilai lebih atau tambahan. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh
dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun
secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan. Riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan
pinjam-meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi. Riba ada
4, yaitu: Riba Fadli, Riba Nasi’ah, Riba Qardh dan Riba Yad. Hukum riba adalah
haram.
DAFTAR
PUSTAKA
Chapra M. Umer, Sistem Moneter
Islam, diterjemahkan: Ikhwan Abidin Basri, The Islamic Faoundation, Jakarta: Gema Insani
Press dan Tazkia Cendekia, 2000
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta:Gema
Insani, 2001
Adiwarman aswar karim, Ekonomi
Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani press,
2001
Komentar
Posting Komentar