Pengertian Maqam dan Ahwal Dalam Tasawuf
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagaimana hati manusia akan menyinarkan cahaya apabila cermin
hatinya masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan.
Bagaimana seorang hamba mampu menjumpai Allah, sedangkan ia terbelenggu ke
dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk
masuk kehadirat Allah, sedangkan ia belum bersih dari janabat kelalaiannya.
Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus,
sedangkan ia belum bertobat dari kesalahannya. Demikianlah nasihat ulama sufi.
Untuk mencapai apa yang dimasihatkan ulama sufi tersebut, manusia
hendaknya memulainya dengan mengetahui pangertian maqam dan ahwal
dalam tasawuf, serta melakukan beberapa hal atau maqam yang biasa
dilalui oleh seorang sufi.
B.
Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, kami mendapatkan
beberapa masalah dalam penulisannya, diantaranya :
1.
Apa pengertian Maqamat di dalam Tasawuf.
2.
Apa Yang dimaksud dengan Ahwal di dalam Tasawuf.
3.
Adakah contoh-contoh orang yang tergolong atau memiliki maqamat
dan ahwal dalam tasawuf.
4.
Apakah kaitan antara Maqamat dan Ahwal di dalam
Fenomena Sosial.
C.
Tujuan Pembahasan
Untuk lebih memahami dan menjawab masalah-masalah didalam pembuatan
makalah Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf secara mendalam, maka kami terlebih
dahulu akan menjelaskan tentang Pengertian dari Maqamat dalam Tasawuf,
selanjutnya memaparkan Pengertian Ahwal dalam Tasawuf, dan yang terakhir kami
akan menerangkan kaitan antara Maqamat dan Ahwal di dalam Fenomena Sosial.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqamat dan Ahwal
1.
Maqamat
Maqamat menurut bahasa
adalah tahapan, sedangkan menurut istilah adalah upaya sadar untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Melalui tahapan-tahapan untuk mencapai Makrifatullah.
Maqamat merupakan
istilah kaum sufi yang menunjukan arti nilai etika yang akan diperjuangkan dan
diwujudkan oleh seseorang pejalan (Salik) melalui beberapa
tingkatan Mujahadah secara beransur-ansur, yaitu dari suatu tingkatan
perilaku batin menuju pencapaian tingkatan (Maqam) berikutnya dengan
bentuk amalan mujahadah tertentu. Hal ini merupakan pencapaian
kesejatian hidup dengan pencarian yang tidak kenal lelah, beratnya syarat, dan
beban kewajiban yang harus dipenuhi.
Ketika seseorang yang sedang menduduki atau berjuang untuk
menduduki sebuah maqam, ia harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung
dalam maqam yang sedang dikuasainya. Oleh karna itu, ia akan selalu
sibuk dengan berbagai latihan (Riyadah).
Maqam merupakan
tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan menuju Allah dan akan
berhenti pada saat tertentu. Orang yang menempuh jalan kebenaran (Salik)
berjuang hingga Allah memudahkan baginya menempuh jalan menuju tingkatan kedua.
Misalnya dari tingkatan tobat menuju tingkatan wara’, dari tingkatan wara’ menuju
tingkatan zuhud. Demikian seterusnya hingga mencapai tingkatan mahabbah
dan ridha.
Menurut Abu Bakr al-Kalabazi dalam bukunya, at-Ta’aruf li
Mazhabi Ahli Tasawwuf, maqam yang harus dilalui oleh seorang salik
adalah tobat, zuhud, sabar, fakir, rendah hati, taqwa,
tawakal, kerelaan, cinta, dan makrifah.
Adapun Abu Hasan al-Qusyairi membaginya menjadi tobat, wara’,
zuhud, tawakal, sabar, dan ridha.
Munurut Abu Nasr as-Sarraj, maqamat dalam tasawuf merupakan
jalan panjang berjenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufiuntuk berada
dekat dengan Allah Swt. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dijelaskan maksud
dari beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi.
1.
Tobat
Untuk mensucikan hati dan diri dari segala dosa yang pernah
diperbuat, manusia dianjurkan untuk menyesali perbuatan (buruk) yang pernah
dilakukan dan tidak akan mengulanginya lagi. Arti tobat adalah kembali dari
segala yang tercela menurut agama, menuju semua yang terpuji.
Allah Swt memerintahkan hamba-Nya agar bertobat dengan tobat
semurni-murninya
يَآيُّهَاالَّذِيْنَ
آمَنُوْا تُوْبُوْا اِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًا قلى
عَسَى
رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّآتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّتٍ تَجْرِيْ
مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهَرُ لا
يَوْمَ
لاَ يُخْزِى اللهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا مَعَهُ
ج نُوْرُهُمْ
يَسْعَى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآاَتْمِمْ
لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْلَنَا اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. [التحريم
[66]:
8].
“Wahai orang-orang yang beriman !. Bertobatlah kepada Allah dengan
tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan
orang-orang yang beriman bersama dengannya, sedang cahaya mereka memancar
dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami,
sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sungguh, Engkau
Mahakuasa atas segala sesuatu’”. [Q.S. at-Tahrim [66]:8].
2.
Wara’
Wara’ adalah
menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjahui hal-hal yang tidak baik atau
subhat. Adapun menurut para sufi, wara’ adalah menghindari segala
yang diragukan antara halal dan haram.
3.
Zuhud
Zuhud adalah suatu
kehidupan yang mengutamakan akhirat dari pada dunia. Orang yang zuhud
lebih mengutamakan dan sangat merindukan kesenangan hidup di alam akhirat yang
kekel serta abadi.
4.
Fakir
Menurut para kaum sufi, fakir adalah orang yang memiliki
ketulusikhlasan dalam berbuat dan bertanggung jawab serta tidak meminta lebih
dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeki,
kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah Swt.
5.
Sabar
Salah satu tahapan atau maqam penting yang harus dijalani
oleh para sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, adalah sikap sabar.
Sabar berhubungan dengan derajat mulia dan amal kebajikan. Sabar dibagi menjadi
dua bagian, yaitu sabar atas apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. Dan sabar
apa yang dilarang-Nya. Adapun sabar atas apa yang diupayakan seorang hamba
adalah sabar dalam menjalani hukum Allah Swt, yang menimbulkan kesukaran
baginya.
2.
Ahwal
Ahwal menurut bahasa
adalah keadaan, sedangkan menurut istilah, ahwal adalah keadaan jiwa
dalam proses pendekatan diri kepada Allah Swt.
Menurut Syekh Abu Nash As-sarraj, ahwal adalah sesuatu yang terjadi
mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
Menurut Harun Nasuition ahwal merupakan keadaan mental
perasaaan senang, perasaan takut, perasaan sedih, dan sebagainya.
Adapun menurut Imam al-Gazali, ahwal adalah kedudukan atau
situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu,
baik sebagai buah dari amal saleh yang menyucikan jiwa atau sebagian pemberian
semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, inti
pendapat mereka adalah sama, yaitu keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya
telah bersih dan suci. Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal
tidak menentu datangnya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawa’ih,
dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih.
Maqam diperoleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak
melalui usaha, tetapi merupakan rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam
sifatnya permanen, sedangkan ahwal bersifat temporer.
Dalam penentuan ahwal,
terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Ahwal yang paling
banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar- raja’, at-tuma’ninah,
al-musyahadah, dan yaqin.
1.
Al-Muraqabah
Al-Muraqabah artinya merasa
selalu diawasi oleh Allah Swt, sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia
senantiasa rajin melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia pada hakikatnya selalu berhasrat dan ingin
pada kebaikan serta menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada
orang yang melihatnya.
Kehati-hatian adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara
dalam diri seorang hamba jika menyakini Allah Swt senantiasa melihat dirinya.
2.
Al-
Khauf
Khauf adalah suatu
sikap mental yang merasa takut kapada Allah karena kurang sempurna pengabdianya.
Takut dan khawatir jika Allah tidak senang kepadanya. Menurut al-Ghazali, Khauf
adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak
disenangi dimasa sekarang.
Menurut al-Ghazali, khauf terdiri atas tiga tingkatan atau
derajat, diantaranya sebagai berikut.
a.
Tingkatan
qasir (pendek), yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang
dimiliki wanita. Perasaan ini sering kali dirasakan takkala mendengar ayat-ayat
Allah Swt dibaca.
b.
Tingkatan
mufrit (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan
melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan serta putus asa. Khauf tingkat
ini menyebabkan hilangnya kendali akal. Khauf ini dicela karena membuat
manusia tidak dapat beramal.
c.
Tingkatan
mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji. Ia berada pada khauf
qasir dan mufrit
3.
Ar-Raja’
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan
seimbang dan saling memengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau
optimisme, yaitu perasaan senang hati mentaati sesuatu yang diinginkan dan
disenangi.
Orang yang harapan dan penantiannya dapat mendorong untuk berbuat
taat dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika
harapanya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tanggelam dalam lembah
kemaksiatan, harapanya sia-sia. Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
a.
Cinta
kepada apa yang diharapkannya.
b.
Takut
apabila harapanya hilang.
c.
Berusaha
untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak
diikuti dengan tiga perkara tersebut hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap orang
yang berharap berarti juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap
untuk sampai disuatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena
takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang berharap rida
atau ampunan Tuhan, diiringi dengan rasa takut akan siksaan-Nya.
4.
At-Tuma’ninah
At-Tuma’ninah adalah rasa
tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telah mencapai At-Tuma’ninah,
ia telah kuat akalnya, kuat iman dan ilmunya, serta bersih ingatannya.
Tuma’ninah dibagi menjadi
tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Kedua,
ketenangan bagi orang yang khusus. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang
yang paling khusus.
5.
Al-Musyahadah
Musyahadah secara harfiah
adalah menyaksikan dengan mata kepala, Seorang sufi dikatakan sudah mencapai musyahadah
apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada
dalam hatinya. Ia sudah tidak menyadari segala yang terjadi, segalanya tercurah
pada yang satu, yakni Allah. Dalam keadaan seperti itu, seorang sufi memasuki
tingkat makrifat, seakan-akan ia menyaksikan Allah, dan memulai
persaksiannya tersebut timbul rasa cinta kasih.
6.
Yaqin
Yaqin dalam
terminologi sufi merupakan perpaduan antara ‘ilm al-yaqin, ain al-yaqin,
dan haqq al-yaqin. Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan syarat
adanya bukti. Sedangkan ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan
disertai kejelasan. Adapun haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan
sifat-sifat yang menyertai kenyataannya.
‘Ilm al-yaqin dibutuhkan
untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al-yaqin dibutuhkan bagi para
ilmuwan. Adapun haqq al-yaqin bagi orang-orang yang makrifah.
Jelasnya, al-yaqin adalah sebuah kepercayaan yang kuat dan tidak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki karena merupakan
penyaksian dengan segenap jiwa dan dirasakan oleh seluruh ekspresinya serta
disaksikan oleh segenap eksistensinya.
B.
Contoh Orang yang Memiliki Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, menurut Abu Bakar
al-Kalabadzi, tokoh sufi asal bukhara, Asia tengah, ada beberapa maqam
yang harus dilalui sufi menuju Tuhan, yaitu tobat, sabar, tawakal, rida, mahabbah,
dan makrifat.
Adapun contoh-contoh orang yang memiliki maqamat dan ahwal
dalam tasawuf adalah sebagai berikut :
1.
Orang yang selalu meninggalkan berbagai
perbuatan dosa besar, seperti menyekutukan Allah Swt, durhaka kepada orang tua,
berzina, meminum khamar, bersumpah palsu, dan membunuh tanpa alasan yang
dibenarkan agama.
2.
Orang
yang meninggalkan dosa kecil, seperti perbuatan maqruh, sikap dan tindakan
yang menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, dan merasa telah dekat dengan
Tuhan.
3.
Orang
yang bertobat dari kelengahan hati mengingat Allah Swt. Dalam hal ini, tobat
membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Allah Swt, sebab perbuatan
dosa yang dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan
untuk melakukan ketaatan kapada Allah Swt.
4.
Orang
yang sabar menahan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat menggoyahkan iman.
Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah Swt yang
lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, dan memperoleh kedudukan mulia
disisi-Nya. Tanpa kesabaran, keberhasilan tidak mungkin tercapai.
5.
Orang
yang tawakal yaitu memercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allah
Swt, dan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang dihadapi.
6.
Orang
yang selalu rida, yakni seorang hamba tidak akan berontak batinya terhadap
segala cobaan Allah Swt. Ia akan menerimanya dengan senang hati. Ia tidak minta
masuk surga dan tidak minta dijauhkan dari neraka.
C.
Kaitan Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf dengan Fenomena Sosial
Maqamat merupakan
tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Adapun, ‘Ahwal’, bentuk jamak dari ‘hal’,
adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai
anugerah yang datang dari Allah Swt. Maqam merupakan usaha, sedangkan hal
merupakan anugerah. Keadaan hati dinamakan hal karena berubah-ubah dan
dinamakan maqam karena telah tetap.
Kaitan tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam
menentukan arah dan fenomena sosial. Kehadiranya meski sering menimbulkan
kontroversi, namun keyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh
tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem
kehidupan sosial dan ekonomi yang senantiasa berkembang mengikuti gerak
dinamikanya karena tasawuf adalah jantung dari ajaran islam. Tanpa tasawuf,
islam akan kehilangan roh ajaran aslinya. Tasawuf akan membimbing seseorang mengarungi
kehidupan ini-yang memang tidak dapat terlepas dari realitas yang tampak dan
tidak tampak-untuk menjadi seseorang yang bijak dan profesional. Selain bisa
memahami realitas lahir, ia juga mampu memahami realitas batin sehingga mampu
pula berinteraksi dengan alam secara harmonis dan serasi. Itulah yang diajarkan
di dalam agama Islam, keharmonisan dan keserasian dalam fenomena sosial dengan
alam semesta.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Maqamat
menurut bahasa adalah tahapan, sedangkan menurut istilah adalah
upaya sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Melalui tahapan-tahapan
untuk mencapai Makrifatullah.
2.
Arti
tobat adalah kembali dari segala yang tercela menurut agama, menuju semua yang terpuji.
3.
Wara’ adalah menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal
yang tidak baik dan subhat.
4.
Zuhud adalah suatu kehidupan yang mengutamakan akhirat dari pada dunia.
5.
Menurut
para kaum sufi, fakir adalah orang yang memiliki ketulusikhlasan dalam
berbuat dan bertanggung jawab serta tidak meminta lebih daripada yang menjadi
haknya
6.
Dalam
menentukan ahwal terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi. Ahwal
yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’,
at-tuma’minah, al-musyahadah, dan yaqin.
7.
Adapun
contoh-contoh orang yang memiliki maqamat dan ahwal dalam tasawuf
adalah sebagai berikut :
a. Orang yang selalu meninggalkan berbagai perbuatan dosa besar.
b. Orang yang meninggalkan dosa kecil.
c. Orang yang bertobat dari kelengahan hati mengingat Allah Swt.
d. Orang yang sabar menahan hawa nafsunya sendiri.
e. Orang yang selalu rida
8.
Orang
yang tawakal adalah orang yang mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah
kepada Allah Swt. Dan menyandarkan kepada-Nya penangan berbagai masalah yang
dihadapi.
DAFTAR
PUSTAKA
KH. M. Arwani Amin, Al-Qur’an Al Quddus,
(Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, PT. Buya Barokah, 2003).
DR.
Sultan Adbulhameed, MUTIARA AL-QUR’AN, 59 Langkah Praktis Mengamalkan
Sabar, Syukur, Iman, Tawakal, dan Ikhlas. (Jakarta: Zaytuna. PT. Ufuk
Publishing House, 2011).
Lilis
Fauziyah R.A, Andi Setyawan. Kebenaran Al-Qur’an dan Hadis 2. (Solo:
Aqila. PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013).
Aris
Musthafa, Handono. Meneladani Akhlaq 1. (Solo: Aqila. PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2013).
Komentar
Posting Komentar