Kronologi Al Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Pembahasan mengenai al-Qur’an dirasakan bagaikan kekuatan dari atas yang sangat kuat menghujam kebawah. Itu disebabkan kedudukan dan keagungan al-Qur’an yang begitu cepatnya merubah kehidupan manusia dengan sebuah revolusi mencengangkan yang kita sebut dengan revolusi moral. Mengetahui sejarah penyusunan undang-undang islam dari sumbernya memberikan gambaran fase tahapan  dalam hukum dan penentuan hukum dengan setiap peristiwa tanpa pertentangan yang lalu dan akan datang.
Dan ini telah terbukti dari pertama kali turunnya al-Qur’an secara umum dan akhirnya turun secara mutlak, sebagaimana juga awal turunnya ayat dan akhir turunnya dalam setiap penentuan hukum dalam ajaran islam.

B.       Rumusan Masalah
a.              Pengertian kronologi al-Qur’an
b.         Dasar penyusunan kronologi al-Qur’an
c.    Kajian ayat dan surat pertama dan terakhir turun
d.   Daftar kronologi al-Qur’an
e.    Korelasi (Munasabah) antar bagian-bagian al-Qur’an

C.      Tujuan Pembahasan
a.    Untuk mengetahui pengertian kronologi al-Qur’an
b.    Agar penulis dan pembaca dapat mengetahui dasar penyusunan kronologi al-Qur’an
c.    Supaya dapat mengetahui kajian ayat dan surat pertama dan terakhir turun
d.   Dapat diketahui Daftar kronologi al-Qur’an
e.    Agar dapat mengetahui korelasi (munasabah) antar bagian-bagian Munasabah di dalam al-Qur’an 




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kronologi Al-Qur’an
1.      Pengertian Kronologi Al-Qur’an
Kronologi adalah isltilah yang diambil dari bahasa Yunani, Chronos yang artinya waktu dan Logi yang artinya ilmu. Maka disimpulkan Kronologi al Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang urutan turunya surat atau ayat-ayat al-Qur’an/ sebuah kejadian (al-Qur’an) pada waktu tertentu.
Sejak pertengahan abad ke-19, Upaya merekonstruksi secara kronologis wahyu-wahyu al-Quran dilakukan para sarjana Barat dengan mengeksploitasi bahan-bahan tradisional Islam dan memperhatikan bukti-bukti internal al-Quran sendiri yakni rujukan-rujukan historis di dalamnya, terutama selama periode Madinah dari karir kenabian Muhammad. Perhatiannya juga dipusatkan pada pertimbangan gaya al-Quran, perbendaharaan kata, dan semisalnya. Singkat kata, al-Quran telah menjadi sasaran penelitian yang cermat selaras dengan metode kritik sastra dan kritik sejarah modern. Hasilnya, muncul berbagai sistem penanggalan al-Quran berdasarkan asumsi-asumsi yang beragam.
Salah satu aransemen kronologi al-Quran versi Barat yang terpopuler adalah yang diupayakan Theodor Noeldeke (w.1930) dan muridnya, Friedrich Schwally (w.1919),  Dalam karya monumental mereka, Geschichte des Qorãns. Noeldeke dan Schwally, yang mengadopsi dan mengembangkan gagasan Gustav Weil, membagi pewahyuan al-Quran ke dalam empat periode: (i) Makkah pertama atau awal. (ii) Makkah kedua atau tengah. (iii) Makkah ketiga atau akhir. dan (iv) Madinah. Titik-titik peralihan untuk keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisinia (sekitar 615) untuk Makkah awal dan Makkah tengah, saat kembalinya Nabi dari Tha’if (620) untuk Makkah tengah dan Makkah akhir, serta peristiwa hijrah (September 622) untuk Makkah akhir dan Madinah.
Unit-unit wahyu al-Quran  yang kemudian membentuk kitab suci kaum muslimin disampaikan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun mulai sekitar tahun 610 hingga 632 selaras dengan perkembangan misi kenabiannya. Namun, ketika wahyu-wahyu tersebut dikodifikasi, pentahapan pewahyuan ini tidak tercermin di dalamnya. Banyak surat al-Quran yang diwahyukan setelah Nabi hijrah ke Madinah seperti surat 2, 3, dan 4 ditempatkan pada bagian awal mushaf al-Quran yang ada yakni mushaf utsmani. Sementara surat-surat yang berasal dari periode awal kenabian Muhammad misalnya surat 96, 74, dan 68,ditempatkan di bagian akhir mushaf. Demikian pula, surat-surat al-Quran terutama surat-surat panjang  menghimpun unit-unit wahyu dari berbagai periode pewahyuan, yang diturunkan sehubungan dengan berbagai kejadian, situasi dan kebutuhan. Bagian-bagian al-Quran yang menyerukan kaum politeis mengimani keesaan Tuhan dan mengeritik keyakinan serta praktek pelbegu, lazimnya diwahyukan pada masa pra-hijrah. Sementara bagian-bagian al-Quran yang berisi berbagai aturan peperangan dan hukum kemasyarakatan, jelas diwahyukan dalam kaitannya dengan pembangunan dan pemapanan masyarakat muslim Madinah.
Sekalipun mushaf al-Quran tidak tersusun berdasarkan urutan pewahyuan, sejak abad-abad pertama Islam para sarjana muslim telah menyadari pentingnya pengetahuan tentang penanggalan atau aransemen kronologis bagian-bagian al-Quran dalam rangka memahami pesan kitab suci tersebut. Dari kesadaran ini, muncul upaya menghimpun berbagai riwayat historis tentangnya dan menyusun rangkaian kronologi pewahyuan al-Quran.

2.      Dasar penyusunan kronologi al-Qur’an
Ibnu al-hishar ia memegang riwayat bahwa rasulullah pernah bersabda: “letakkanlah ayat ini disurah ini”. Penyusunan surah-surah didalam mushaf dimata ibnu hisyar telah mencapai suatu keyakinan dengan sumber naql dari rasulullah yang atas dasar itu para sahabat berijma’ untuk menyusunnya didalam mushaf. Jumhur ulama menurut suyuthi malik mengatakannya sebagai ijtihadi yang artinya surah-surah al-Qur’an disusun dalam mushaf tidak berdasarkan petunjuk rasulullah tetapi dilakukan berdasarkan pertimbangan para sahabat.
Oleh karena penyusunan surat berdasarkan ijtihad itulah, maka terjadi perbedaan dalam kronologi mushaf-mushaf yang dimiliki oleh beberapa sahabat. Misalnya ali bin abi thalib didalam mushafnya  surat yang pertama kali turun bukan surat alfatihah tetapi surat al-alaq selanjutnya almudatsir, alnur, almuzammil,allahab, lalu attakwir. Namun susunan surah-surah al-Qur’an seperti yang kita saksikan sekarang ini adalah susunan surah mushaf ustman, karena memang sejak penulisan al-Qur’an dizaman ustman dan diseragamkannya tatacara penulisan al-Qur’an oleh utsman, kesempatan untuk beredarnya mushaf-mushaf sahabat lainnya sangat kecil sekali atau bisa dikatakan tertutup total.
3.        Kajian ayat dan surat pertama dan terakhir kali turun
a.      Kajian Ayat
Menurut Az-Zarqani pembahasan tentang awal dan akhir turunnya ayat mencakup dua hal: pertama, mengetahui awal dan akhir turunnya ayat secara mutlaq. Kedua mengetahui contoh-contoh awal yang turun dari hukum tasyrie dan yang turun terakhir seperti dengan idhafah (tambahan), takhsis (pengkhususan) atau taqyied (kata atau kalimat yang mengikat).
Secara etimologis ayat berarti: mukjizat, tanda, ibarat, perkara yang  menakjubkan, bukti, dan dalil. Sedangkan secara terminologis ayat ialah kumpulan kalimat dari firman allah yang tersusun dalam surat al-Qur’an. Sistematika ayat dalam al-Qur’an mutlak dari rasulullah, pendapat ini banyak didukung ulama diantara mereka ialah: imam zarkasyi dalam kitabnya alburhan, dan ahmad bin ibrahim bin zubair al-andalusi, ia termasuk dari huffadz dalam kitabnya munasabah ia berkata: “ sistematika ayat-ayat dalam surat-suratnya sesuai dengan penetapan dan perintah rasulullah tanpa ada khilaf dari kaum  muslimin.
Dan telah diriwayatkan secara tertib pula tentang bacaan rasulullah dalam banyak surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam khotbah jum’at seperti surat al-baqarah dan al-imran serta annnisa’. Jibril setiap tahunnya menampakkan dan membacakan al-Qur’an kepada rasulullah setiap setahun sekali pada bulan ramadhan dan jibril membacakannya dua kali pada tahun terakhir sebelum wafatnya beliau dan penyusunan itu dapat kita ketahui dalam al-Qur’an yang kita baca sekarang.
Maka dengan ini penyusunan ayat-ayat al-Qur’an dalam mushaf yang kita baca saat ini tidak ada pertentangan dan perbedaan. Imam syhuyuti berkata setelah menyebutkan hadis tentang surat-surat khusus: “bacaan rasulullah yang disaksikan oleh para sahabat menunjukkan mutlaknya penyusunan ayat tersebut, dan para sahabat tidak menyusunnya menurut selera mereka kecuali dari apa yang mereka dengar dari nabi maka bacaan ini diterima sebagai periwayatan tertib menurut riwayat umum”.

b.      Yang Pertama Kali Diturunkan
1.    Pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِىْ خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ * إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * اَلَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ. (العلق: 1-5)
“Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lebih pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘alaq [96]:1-5).
Pendapat ini didasarkan pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis dan yang lain, dari Aisyah r.a yang mengatakan: “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada rasulullah S.A.W adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Dia melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian dia suka menyendiri. Dia pergi ka gua ghiroh untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia pulang kepada Khadijah r.a, maka Khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu. Di gua ghiroh ia dikejutkan oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datang kepadanya dan mengatakan: ‘Bacalah !’. Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab: ‘Aku tidak pandai membaca’. Malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi: ‘Bacalah !’. Maka aku pun menjawab: Aku tidak pandai membaca. Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian ia lepaskan lagi dan ia berkata: ‘Bacalah !’. Aku menjawab: ‘Aku tidak pandai membaca’. Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian ia berkata: ‘Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan....’ sampai dengan’....apa yang tidak diketahuinya’. (Hadits).
2.    Dikatakan pula, bahwa yang tertama kali turun adalah firman Allah : Yaa ayyuhal mudattsir (Wahai orang yang berselimut). Ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan olah dua syaikh ahli hadits.
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman; dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: Yang manakalah di antara al-Quran itu yang turun partama kali ? Dia menjawab: ‘Ya ayyuhal muddassir’. Aku bertanya lagi: Ataukah iqra’ bismi rabbik? Dia menjawab: ‘Aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah S.a.w kepada kami’”.
إِنِّى جَاوَرْتُ بِحِرَاءَ, فَلَمَّا قَضَيْتُ جِوَارِى نَزَلْتُ فَاسْتَبْطَنْتُ الْوَادِىَ, فَنَظَرْتُ أَمَامِى وَخَلْفِى وَعَنْ يَمِيْنِى وَشِمَالِى, ثُمَّ نَظَرْتُ إِلَى السَّمَآءِ فَإِذًا هُوَ – يَعْنِى جِبْرِيْلَ – فَأَخَذَتْنِى رَجْفَةٌ, فَأَتَيْتُ خَدِيْجَةَ, فَأَمَرَتْهُمْ فَدَثَّرُوْنِىْ. فَأَنْزَلَ اللهُ [يَاأَيُّهَاالْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ].
Sesungguhnya aku berdiam diri digua hira. Maka ketika habis masa diamku, aku turun lalu aku menelusuri lembah. Aku lihat kemuka, kebelakang, kekanan dan kekiri. Lalu aku lihat kelangit tiba-tiba aku melihat jibril sangat amat menakutkan. Maka aku pulang ke khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimutiku. Merekapun menyelimutiku. Lalu Allah menurunkan:wahai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan”.
Mengenai hadits Jabir ini, dapatlah dijelaskan bahwa pertanyaan itu mengenai surat yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surat Muddassir-lah yang turun secara penuh sebelum surat Iqra’ selesai diturunkan, karena yang turun pertama sekali dari surat Iqra’ itu hanyalah permulaannya saja. Hal yang demikian ini juga diperkuat oleh hadits Abu Salamah dari Jabir yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Jabir berkata:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيْ, فَقَالَ فِى حَدِيْثِهِ: بَيْنَمَا اَنَاأمْشِى سَمِعْتُ صَوْتَا مِنَ السَّمَآءِ فَرَفَعْتُ رَأسِى. فَإِذًا اَلْمَلَكُ الَّذِىْ جَاءَنِى بِحِرَاءَ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ, فَرَجَعْتُ, فُقُلْتُ: زَمِّلُوْنِى. فَدَثَّرُوْنِى. فَأَنْزَلَ اللهُ [يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرْ].
“Aku telah mendengar Rasulullah S.a.w ketika ia berbicara mengenai terputusnya wahyu, maka katanya dalam pembicaraan itu: ‘Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di gua Hira itu duduk di atas kursi antara langit dan bumi, lalu aku pulang dan aku katakan: Selimuti aku! Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: Ya ayyuhal muddassir’”.
Hadits ini menunjukkan bahwa kisah tersebut lebih kemudian dari pada kisah gua Hira, atau Muddassir itu adalah surat pertama yang diturunkan setelah terhentinya wahyu. Jabir telah mengeluarkan yang demikian ini dengan ijtihadnya, akan tetapi riwayat Aisyah lebih mendahuluinya. Dengan demikian, maka ayat al-Qur’an yang pertama kali turun secara mutlak ialah Iqra’ dan surat yang pertama diturunkan secara lengkap dan pertama diturunkan setelah terhentinya wahyu ialah Ya ayyuhal muddassir, dan surat yang pertama turunya untuk risalah ialah Ya ayyuhal muddassir dan untuk kenabiannya adalah Iqra’.
3.    Pendapat ketiga ini dinukilkan dari Wahidi yang menyatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Bismillahirrahmanirrahi, sedangkan bismillah turun sebagai awal setiap surat. Dan dalil bahwa dua hadis ini mursal sedangkan pendapat yang pertama yang diperkuat dengan hadis Aisyah lebih kuat dan tepat serta masyhur.
Disini dapat kita simpulkan bahwa wahyu yang diturunkan pertama kali dari ayat-ayat al-Qur’an ialah Iqra’ dan wahyu yang turun pertama kali berupa perintah dakwah al-muddatsir sedangkan awal turunnya surat ialah surat alfatihah.
c.         Yang Terakhir Kali Diturunkan
1.         Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba. ini didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibn Abbas, yang mengatakan:
“Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba”. Yang dimaksud ialah Firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَذَرُوْا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا. (البقرة: 278)
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut)”. [al-Baqarah [2]:278].
2.         Dan dikatakan pula bahwa ayat Qur’an yang terakhir diturunkan ialah firman Allah :
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْخَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ. (البقرة: 281)
 “Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.....” [al-Baqarah [2]:281].
Ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh an-Nisa’i dan lain-lain. Dari Ibn Abbas dan Sa’id bin Jabair: “Ayat Qur’an yang terakhir kali diturunkan ialah”: ‘Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.....’ [al-Baqarah [2]:281].
3.         Juga dikatakan bahwa yang terakhir kali turun itu ayat mengenai utang; berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab: “Telah sampai kepadanya bahwa ayat al-Qur’an yang paling muda di’Asry ialah ayat mengenai utang”. Yang dimaksud adalah ayat:
يَاأَيُّهَاالَذِّيْنَ آمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ. (البقرة: 282)
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menulisnya...” [al-Baqarah [2]: 282].
Ketiga riwayat itu dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut diturunkan sekaligus seperti tertib urutanya di dalam Mushaf. Ayat yang mengenai riba, ayat peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari kemudian ayat yang mengenai uatang, karena ayat-ayat itu masih satu kisah. Setiap perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagian yang terakhir kali. Dan itu memang benar. Dengan demikian, maka ketiga ayat itu tidak saling bertentangan.
4.         Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat yang mengenai kalalah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib; Dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun adalah”:
يَسْتَفْتُوْ نَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلاَلَةِ. (النسآء: 176)
“Mereka meminta fatwa kepadamu mengenai kalalah, ketakanlah ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah”. [an-Nisa’[4]: 176].
Ayat yang turun terakhir menurut hadits Barra’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan.
5.         Pendapat lain menyatakan bahwa yang terakhir turun adalah firman Allah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ.
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri...” sampai dengan akhir surat.
Dalam Al-Mustadrak disebutkan, dari Ubai bin Ka’b yang mengatakan: “Ayat terakhir kali diturunkan : Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri...” [at-Taubah [9]: 128-129]. Sampai akhir Surat. Mungkin yang dimaksud adalah ayat terakhir diturunkan dari Surat at-Taubah. Muslim meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa hadits ini memberitahukan bahwa surat ini ialah surat yang diturunkan terakhir kali, karena ayat ini mengisyaratkan wafatnya Nabi Muhammad S.a.w sebagai mana dipahami oleh sebagian sahabat. Atau mungkin surat ini adalah surat yang terakhir kali diturunkan.
6.         Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surat al-Ma’idah. Ini didasarkan pada riwayat Tirmizi dan Hakim, dari Aisyah r.a Tetapi menurut pendapat kami, Surat itu surat yang terakhir kali turun dalam hal halal dan haram, sehingga tak satu hukum pun yang dinasikh di dalamnya.
7.         Juga Dikatakan  bahwa yang terakhir kali diturunkan  adalah firman Allah:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لاَ أُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ. (آل عمران: 195).
“Maka Tuhan memperkanankan permohonan mereka: ‘Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”. (Ali ‘Imran [3]: 195).
Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat ini “Maka Tuhan memperkanankan permohonan mereka: ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kaummu...” sampai akhir ayat tersebut.
Hal itu disebabkan dia (Ummu Salamah) bertanya: Wahai Rasulullah, aku melihat Allah menyebutkan kaum lelaki akan tetapi tidak menyebutkam kaum perempuan. Maka turunlah ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari pada sebagian yang lain”. [an-Nisa’[4]: 32]. Dan turu pula: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim”. [al-Ahzab[33]: 35]. Serta ayat ini: “Maka tuhan mereka...” Ayat ini adalah yang terakhir diturunkan yang didalamnya tidak hanya disebutkan kaum lelaki secara khusus.
Dari riwayat itu jelaslah bahwa ayat tersebut yang terakhir turun di antara ketiga ayat diatas, dan yang terakhir yang turun dari ayat-ayat  yang didalamnya disebutkan kaum perempuan.
8.         Ada juga dikatakan bahwa ayat terakhir yang turun ialah ayat :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا. (النسآء: 93).
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasanya ialah jahannam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. [an-Nisa’i [4]:93].
Ini didasarkan Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan yang lain dari Ibn Abbas yang mengatakan:
هَذِهِ الْآيَةُ (وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ) هِيَ آخِرُ مَانُزِلَ وَمَا نُسَخَهَا شَيْئٌ.
“Ayat ini (Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasanya ialah jahannam) adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dinasikh oeh apa pun”.
Ungkapan ‘ia tidak dinasikh oleh apa pun’ itu menunjukkan bahwa ayat itu ayat yang terakhir turun dalam hal hukum membunuh seorang mukmin dengan sengaja’.
9.         Dari Ibn Abbas dikatakan: “Surat yang terakhir kali diturunkan ialah”.
إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”.
Pendapat-pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w masing-masing merupakan ijtihad dan dugaan. Mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu memberitahukan mengenai apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surah yang terakhir diturunkan secara lengkap seperti setiap pendapat yang telah kami kemukakan diatas. Adapun firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِيْنًا. (المائدة: 3).
“Pada hari ini telah kami sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agama bagimu”. [al-Ma’idah [5]:3]. Maka ia diturunkan di Arafah tahun Haji Perpisahan (Wada’).
Pada lahirnya, ia menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Telah pula diisyaratkan di atas, bahwa riwayat mengenai turunya ayat riba, ayat utang-piutang, ayat kalalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga Surat al-Ma’idah. Oleh karna itu, para ulama’ menyatakan kesempurnaan agama di dalam ayat ini. Allah telah mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik dari padanya serta menghajikan mereka dirumah suci tanpa disertai oleh orang musyrik pun; padahal sebelumnya orang-orang musyrik berhaji pula dengan mereka. Yang demikian itu termasuk nikmat yang sempurna, “Dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku”.
 Qadi Abu Bakar al-Baqalani dan al-Intisar ketika mengomentari berbagai riwayat mengenai yang terakhir kali diturunkan menyebutkan: “Pendapat-pendapat ini sama sekali tidak disandarkan kepada Nabi S.a.w. Boleh jadi pendapat itu diucapkan orang karena ijtihad atau dugaan saja. Mungkin masing-masing memberitahukan mengenai apa yang terkhir kali didengarnya dari Nabi. Mungkin juga ayat itu yang dibacakan terakhir kali oleh Rasulullah S.a.w bersama-sama dengan ayat-ayat yang turun di waktu itu, sehingga disuruh untuk dituliskan sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terkhir diturunkan menurut tertib urutanya”.

4.        Daftar kronologi Al-Qur’an
Berikut adalah daftar surah-surah Al-Qur'an berdasarkan kronologi turunnya
a.             Periode Mekah
1.
Al-'Alaq
30.
Al-Qiyamah
59.
Al-Mukmin
2.
Al-Qalam
31.
Al-Humazah
60.
As-Sajdah
3.
Al-Muzammil
32.
Al-Mursalat
61.
Asy-Syura
4.
Al-Muddatstsir
33.
Qaf
62.
Az-Zuhruf
5.
Al-Masad
34.
Al-Balad
63.
Ad-Dukhan
6.
At-Takwir
35.
Ath-Thariq
64.
Al-Jatsiah
7.
Al-A'la
36.
Al-Qamar
65.
Al-Ahqaf
8.
Al-Lail
37.
Shad
66.
Adz-Dzariyat
9.
Al-Fajr
38.
Al-A'raf
67.
Al-Ghasyiah
10.
Adh-Dhuha
39.
Al-Jin
68.
Al-Kahfi
11.
Asy-Syarh
40.
Yasin
69.
An-Nahl
12.
Al-'Asr
41.
Al-Furqan
70.
Nuh
13.
Al-'Adiyat
42.
Al-Malaikah
71.
Ibrahim
14.
Al-Kautsar
43.
Maryam
72.
Al-Anbiya'
15.
At-Takatsur
44.
Thaha
73.
Al-Mukminun
16.
Al-Ma'un
45.
Al-Waqi'ah
74.
Fusshilat
17.
Al-Kafirun
46.
Asy-Syu'ara
75.
Ath-Thur
18.
Al-Fil
47.
An-Naml
76.
Al-Mulk
19.
Al-Falak
48.
Al-Qasas
77.
Al-Haqah
20.
An-Nas
49.
Bani Israil
78.
Al-Ma'arij
21.
Al-Ikhlas
50.
Yunus
79.
An-Naba'
22.
An-Najm
51.
Hud
80.
An-Nazi'at
23.
'Abasa
52.
Yusuf
81.
Al-Infithar
24.
Al-Qadr
53.
Al-Hijr
82.
Al-Insyiqaq
25.
Asy-Syams
54.
Al-An'am
83.
Ar-Rum
26.
Al-Buruj
55.
Ash-Shafat
84.
Al-Ankabut
27.
At-Tin
56.
Luqman
85.
Al-Muthaffifin
28.
Quraisy
57.
Saba'
29.
Al-Qari'ah
58.
Az-Zumar

b.             Periode Madinah
86.
Al-Baqarah
96.
Ar-Rahman
106.
Al-Hujurat
87.
Al-Anfal
97.
Al-Insan
107.
At-Tahrim
88.
Ali Imran
98.
Ath-Thalak
108.
Al-Jum'ah
89.
Al-Ahzab
99.
Al-Bayyinah
109.
At-Taghabun
90.
Al-Mumtahanah
100.
Al-Hasyr
110.
Ash-Shaf
91.
An-Nisa'
101.
An-Nasr
111.
AI-Fatihah
92.
Az-Zalzalah
102.
An-Nur
112.
Al-Maidah
93.
Al-Hadid
103.
Al-Haj
113.
Al-Bara'ah
94.
Al-Qital
104.
Al-Munafiqun
95.
Ar-Ra'd
105.
Al-Mujadalah

5.        Korelasi (Munasabah) antar bagian-bagian al-Qur’an

A.           Pengertian Munasabah
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan). dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Quran bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut M. Hasbi Ash Shiddiq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan al-Qur’an sebagai wahyu.
B.            Macam-Macam Munasabah
1.                             Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
a.         Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung, penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga semua ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh, adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh keterangan tentang diturunkannya Taurad kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat tersebut tampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya nabi dan rasul.
b.        kedua, khafiyul irtibath, artinya munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Hal tersebut tampak dalam 2 model, yakni, hubungan yang ditandai dengan huruf‘athaf, sebagai contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah ayat 17-20 :
أَفَلاَ يَنْظُرُوْنَ إِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ, وَإِلَى السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ, وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ, وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ. (الغاشية: 17-20).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana dihamparkan” [al-Gasiyah [88]: 17-20].
Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakikatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bumi yang luas.
Sedangkan model yang kedua, adalah tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa perhubungan secara maknawi. Dalam hal ini ada 3 (tiga) jenis : Tanzhir atau hubungan mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan pertentangan,  Istithrad atau hubungan yang mencerminkan keterkaitan suatu persoalan dengan persoalan lain.

2.       Ditinjau dari segi materi, dapat dibagi menjadi dua, yaitu
a.         Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas.
b.      Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan berbagai pertimbangan logis dan filosofis. Adapun cakupan korelasi antar surat tersebut adalah sebagai berikut :
1.         Hubungan antara nama-nama surat. Misalnya surat al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat an-Nur, lalu diteruskan dengan surat al-Furqon. Adapun korelasi nama surat tersebut adalah orang-orang mu’min berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi mereka, sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan yang bathil.
2.         Hubungan antara satu surat dengan surat yang lain. Misalnya pembukaan surat al-An’am dengan al-hamdu.
 اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ والنُّوْرَ. (الأنعام 1)
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (al-An’am [6]:1)
        Ini sesuai dengan penutupan surat al-Ma’idah yang  menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasanya:
إِنْ تُعَذِّ بْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْلَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ.
(المائدة :118 – 120 ) 
“jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana....” (al-Ma’idah [5]:118-120).
        Hal ini seperti difirmankan Allah:
وَقُضِىَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيْلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. (الزمر : 75 )
        “Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (az- Zumar [39]: 75). 
        Demikian pula Pembukaan Surat al-Hadid yang dibuka dengan tasbih:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَلْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. (الحديد : 1)
        “Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Hadid [57]:1).
        Pembukaan ini sesuai dengan akhir surat al-Waqi’ah yang memerintahkan tasbih
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ. (الواقعة : 96 )
        “Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Mahabesar.” (al-Waqi’ah [56]:96).
        Begitu juga hubungan antara surat Li ilafi Quraisy dengan surat al-fil. Ini Karena kebinasaan ‘tentara gajah’ mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas; sehingga al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surah ini termasuk hubungan sebab-akibat dalam firman Allah:
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا. (القصص : 8 )
        “Maka dipungutlah ia (Musa)oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” (al-Qashsha [28]:8).
  
3.      Hubungan antar awal surat dan akhir surat. Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qashash. Surat ini dimulai dengan menceritakan Nabi Musa A.S, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya; kemudian mencerikatan perlakuanya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki sedang berkelahi.
Allah mengisahkan do’a Nabi Musa :
قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِلْمُجْرِمِيْنَ. (القصص 17).
“Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (al-Qashash [28]:17).
Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur rasul kita muhammad bahwa ia akan keluar dari Mekkah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekkah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir :
إِنَّ الَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَآدُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُلْ رَبِّيْ أَعْلَمُ مَنْ جَآءَ بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِى ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ وَمَاكُنْتَ تَرْجُوْ أَنْ يَّلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلاَّرَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ ظَهِيْرًا لِلْكَافِرِيْنَ. (القصص 58-86).
"Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum-hukum) Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (yaitu kota mekkah). Katakanlah : ‘Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.’ Dan kamu tidak pernah mengharap agar Qur’an diturunkan kepadamu, akan tetapi ai (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong bagi orang kafir.” (al-Qashash [28]:85-86).

4.      Hubungan antara dua surat dalam soal materi dan isinya. Misalnya antara surat al-Fatihah dan surat al-Baqarah. Yang mana dalam surat al-Fatihah berisi tema global tentang aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman. Sedangkan dalam surat al-Baqarah menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi surat al-Fatihah




BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
1.         Kronologi adalah isltilah yang diambil dari bahasa Yunani, Chronos yang artinya waktu dan Logi yang artinya ilmu. Maka disimpulkan Kronologi al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang urutan turunya al-Qur’an/sebuah kejadian (al-Qur’an) pada waktu tertentu.
2.         Surah-surah al-Qur’an disusun dalam mushaf tidak berdasarkan petunjuk rasulullah tetapi dilakukan berdasarkan pertimbangan para sahabat, Oleh karena penyusunan surat berdasarkan ijtihad itulah, maka trejadi perbedaan dalam kronologi mushaf-mushaf yang dimiliki oleh beberapa sahabat.
3.         Pembahasan tentang awal dan akhir turunnya ayat mencakup dua hal: pertama, mengetahui awal dan akhir turunnya ayat secara mutlaq. Kedua mengetahui contoh-contoh awal yang turun dari hukum tasyrie dan yang turun terakhir seperti dengan idhafah (tambahan), takhsis (pengkhususan) atau taqyied (kata atau kalimat yang mengikat).
4.         Surat atau ayat yang permankali diturunkan dan yang paling shahih adalah Iqra’
5.         Menurut penulis ayat atau surat yag terakhir diturunkan adalah Ali ‘Imran [3]: 195. Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat ini “Maka Tuhan memperkanankan permohonan mereka: ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kaummu...” sampai akhir ayat tersebut.
6.         Munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Quran bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).

DAFTAR PUSTAKA
1.      Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, (Rosdakarya: Bandung 1992).
2.      KH. M. Arwani Amin, Al Qur’an Al Quddus, (Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, PT. Buya Barokah, 2003).
3.      Drs. H. M. Sholahuddin Hamid, M. A, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Intimedia, 2002).
4.      Drs. Mudzakir As, Studi ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor, PT.Pustaka Litera Antarnusa, 2007).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Maqam dan Ahwal Dalam Tasawuf

Kitab Sunan Imam Ibnu Majjah