Kronologi Al Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembahasan mengenai al-Qur’an dirasakan bagaikan
kekuatan dari atas yang sangat kuat menghujam kebawah. Itu disebabkan kedudukan
dan keagungan al-Qur’an yang begitu cepatnya merubah kehidupan manusia dengan
sebuah revolusi mencengangkan yang kita sebut dengan revolusi moral. Mengetahui
sejarah penyusunan undang-undang islam dari sumbernya memberikan gambaran fase
tahapan dalam hukum dan penentuan hukum dengan setiap peristiwa
tanpa pertentangan yang lalu dan akan datang.
Dan ini telah terbukti dari pertama kali turunnya al-Qur’an
secara umum dan akhirnya turun secara mutlak, sebagaimana juga awal turunnya
ayat dan akhir turunnya dalam setiap penentuan hukum dalam ajaran islam.
B. Rumusan Masalah
a.
Pengertian kronologi al-Qur’an
b.
Dasar penyusunan kronologi al-Qur’an
c. Kajian
ayat dan surat pertama dan terakhir turun
d. Daftar
kronologi al-Qur’an
e. Korelasi (Munasabah) antar bagian-bagian al-Qur’an
C. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui pengertian kronologi al-Qur’an
b. Agar penulis dan pembaca dapat mengetahui dasar penyusunan kronologi al-Qur’an
c. Supaya dapat mengetahui kajian ayat dan surat pertama dan terakhir turun
d. Dapat diketahui Daftar kronologi al-Qur’an
e. Agar dapat
mengetahui korelasi (munasabah) antar bagian-bagian Munasabah di
dalam al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kronologi Al-Qur’an
1.
Pengertian
Kronologi Al-Qur’an
Kronologi adalah isltilah yang diambil dari bahasa
Yunani, Chronos yang artinya waktu dan Logi yang artinya ilmu. Maka disimpulkan
Kronologi al Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang urutan
turunya surat atau ayat-ayat al-Qur’an/ sebuah kejadian (al-Qur’an)
pada waktu tertentu.
Sejak pertengahan abad ke-19, Upaya merekonstruksi
secara kronologis wahyu-wahyu al-Quran dilakukan para sarjana Barat dengan
mengeksploitasi bahan-bahan tradisional Islam dan memperhatikan bukti-bukti
internal al-Quran
sendiri yakni
rujukan-rujukan historis di dalamnya, terutama selama periode Madinah dari
karir kenabian Muhammad. Perhatiannya juga dipusatkan pada pertimbangan gaya al-Quran, perbendaharaan
kata, dan semisalnya. Singkat kata, al-Quran telah menjadi sasaran penelitian
yang cermat selaras dengan metode kritik sastra dan kritik sejarah modern. Hasilnya, muncul
berbagai sistem penanggalan al-Quran berdasarkan asumsi-asumsi yang beragam.
Salah satu aransemen kronologi al-Quran versi Barat yang
terpopuler adalah yang diupayakan Theodor Noeldeke (w.1930) dan muridnya,
Friedrich Schwally (w.1919), Dalam karya monumental
mereka, Geschichte des Qorãns. Noeldeke dan Schwally, yang mengadopsi dan
mengembangkan gagasan Gustav Weil, membagi pewahyuan al-Quran ke dalam empat
periode: (i) Makkah pertama atau awal. (ii) Makkah kedua atau tengah. (iii)
Makkah ketiga atau akhir. dan (iv) Madinah. Titik-titik peralihan untuk
keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisinia
(sekitar 615) untuk Makkah awal dan Makkah tengah, saat kembalinya Nabi dari
Tha’if (620) untuk Makkah tengah dan Makkah akhir, serta peristiwa hijrah
(September 622) untuk Makkah akhir dan Madinah.
Unit-unit wahyu al-Quran yang kemudian
membentuk kitab suci kaum muslimin disampaikan secara berangsur-angsur kepada
Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun mulai sekitar tahun 610 hingga 632
selaras dengan perkembangan misi kenabiannya. Namun, ketika wahyu-wahyu
tersebut dikodifikasi, pentahapan pewahyuan ini tidak tercermin di dalamnya.
Banyak surat al-Quran yang diwahyukan setelah Nabi hijrah ke Madinah seperti
surat 2, 3, dan 4 ditempatkan pada bagian awal mushaf al-Quran yang ada yakni
mushaf utsmani. Sementara surat-surat yang berasal dari periode awal kenabian
Muhammad misalnya surat 96, 74, dan 68,ditempatkan di bagian akhir mushaf.
Demikian pula, surat-surat al-Quran terutama surat-surat
panjang menghimpun unit-unit wahyu dari berbagai periode pewahyuan,
yang diturunkan sehubungan dengan berbagai kejadian, situasi dan kebutuhan.
Bagian-bagian al-Quran yang menyerukan kaum politeis mengimani keesaan Tuhan
dan mengeritik keyakinan serta praktek pelbegu, lazimnya diwahyukan pada masa
pra-hijrah. Sementara bagian-bagian al-Quran yang berisi berbagai aturan
peperangan dan hukum kemasyarakatan, jelas diwahyukan dalam kaitannya dengan
pembangunan dan pemapanan masyarakat muslim Madinah.
Sekalipun mushaf al-Quran tidak tersusun berdasarkan
urutan pewahyuan, sejak abad-abad pertama Islam para sarjana muslim telah
menyadari pentingnya pengetahuan tentang penanggalan atau aransemen kronologis
bagian-bagian al-Quran dalam rangka memahami pesan kitab suci tersebut. Dari
kesadaran ini, muncul upaya menghimpun berbagai riwayat historis tentangnya dan
menyusun rangkaian kronologi pewahyuan al-Qur’an.
2.
Dasar penyusunan kronologi
al-Qur’an
Ibnu al-hishar ia memegang riwayat bahwa rasulullah
pernah bersabda: “letakkanlah ayat ini disurah ini”. Penyusunan
surah-surah didalam mushaf dimata ibnu hisyar telah mencapai suatu keyakinan
dengan sumber naql dari rasulullah yang atas dasar itu para sahabat berijma’
untuk menyusunnya didalam mushaf. Jumhur ulama menurut suyuthi
malik mengatakannya sebagai ijtihadi yang artinya surah-surah al-Qur’an disusun
dalam mushaf tidak berdasarkan petunjuk rasulullah tetapi dilakukan berdasarkan
pertimbangan para sahabat.
Oleh karena penyusunan surat berdasarkan ijtihad
itulah, maka terjadi perbedaan dalam kronologi mushaf-mushaf yang dimiliki oleh
beberapa sahabat. Misalnya ali bin abi thalib didalam
mushafnya surat yang pertama kali turun bukan surat alfatihah tetapi
surat al-alaq selanjutnya almudatsir, alnur, almuzammil,allahab,
lalu attakwir. Namun susunan surah-surah al-Qur’an seperti yang kita
saksikan sekarang ini adalah susunan surah mushaf ustman, karena memang sejak
penulisan al-Qur’an dizaman ustman dan diseragamkannya tatacara penulisan
al-Qur’an oleh utsman, kesempatan untuk beredarnya mushaf-mushaf sahabat
lainnya sangat kecil sekali atau bisa dikatakan tertutup total.
3.
Kajian ayat dan surat pertama dan
terakhir kali turun
a.
Kajian Ayat
Menurut Az-Zarqani pembahasan tentang awal dan akhir
turunnya ayat mencakup dua hal: pertama, mengetahui awal dan akhir
turunnya ayat secara mutlaq. Kedua mengetahui contoh-contoh awal yang
turun dari hukum tasyrie dan yang turun terakhir seperti dengan idhafah
(tambahan), takhsis (pengkhususan) atau taqyied (kata atau
kalimat yang mengikat).
Secara etimologis ayat berarti: mukjizat, tanda,
ibarat, perkara yang menakjubkan, bukti, dan dalil. Sedangkan secara
terminologis ayat ialah kumpulan kalimat dari firman allah yang tersusun dalam
surat al-Qur’an.
Sistematika ayat dalam al-Qur’an mutlak dari rasulullah, pendapat ini banyak
didukung ulama diantara mereka ialah: imam zarkasyi dalam kitabnya alburhan,
dan ahmad bin ibrahim bin zubair al-andalusi, ia termasuk dari huffadz dalam
kitabnya munasabah ia berkata: “ sistematika ayat-ayat dalam
surat-suratnya sesuai dengan penetapan dan perintah rasulullah tanpa ada khilaf
dari kaum muslimin”.
Dan telah diriwayatkan secara tertib pula tentang
bacaan rasulullah dalam banyak surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat
atau dalam khotbah jum’at seperti surat al-baqarah dan al-imran
serta annnisa’. Jibril setiap tahunnya menampakkan dan membacakan al-Qur’an
kepada rasulullah setiap setahun sekali pada bulan ramadhan dan jibril
membacakannya dua kali pada tahun terakhir sebelum wafatnya beliau dan
penyusunan itu dapat kita ketahui dalam al-Qur’an yang kita baca sekarang.
Maka dengan ini penyusunan ayat-ayat al-Qur’an dalam mushaf yang
kita baca saat ini tidak ada pertentangan dan perbedaan. Imam syhuyuti berkata
setelah menyebutkan hadis tentang surat-surat khusus: “bacaan rasulullah
yang disaksikan oleh para sahabat menunjukkan mutlaknya penyusunan ayat
tersebut, dan para sahabat tidak menyusunnya menurut selera mereka kecuali dari
apa yang mereka dengar dari nabi maka bacaan ini diterima sebagai periwayatan
tertib menurut riwayat umum”.
b.
Yang Pertama
Kali Diturunkan
1. Pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun ialah
firman Allah:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِىْ خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ * إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * اَلَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ *
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ. (العلق: 1-5)
“Bacalah
dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lebih pemurah. Yang mengajar
manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (Al-‘alaq [96]:1-5).
Pendapat
ini didasarkan pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis
dan yang lain, dari Aisyah r.a yang mengatakan: “Sesungguhnya apa yang
mula-mula terjadi pada rasulullah S.A.W adalah mimpi yang benar di waktu tidur.
Dia melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian
dia suka menyendiri. Dia pergi ka gua ghiroh untuk beribadah beberapa malam.
Untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia pulang kepada Khadijah r.a, maka
Khadijah pun membekalinya seperti bekal terdahulu. Di gua ghiroh ia dikejutkan
oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datang kepadanya dan mengatakan:
‘Bacalah !’. Rasulullah menceritakan, maka aku pun menjawab: ‘Aku tidak pandai
membaca’. Malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah.
Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi: ‘Bacalah !’. Maka aku pun menjawab:
Aku tidak pandai membaca. Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku
kepayahan. Kemudian ia lepaskan lagi dan ia berkata: ‘Bacalah !’. Aku menjawab:
‘Aku tidak pandai membaca’. Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga
aku kepayahan, kemudian ia berkata: ‘Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
telah menciptakan....’ sampai dengan’....apa yang tidak diketahuinya’.
(Hadits).
2.
Dikatakan pula, bahwa yang
tertama kali turun adalah firman Allah : Yaa ayyuhal mudattsir (Wahai
orang yang berselimut). Ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan olah
dua syaikh ahli hadits.
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman; dia berkata:
“Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: Yang manakalah di antara
al-Quran itu yang turun partama kali ? Dia menjawab: ‘Ya ayyuhal muddassir’.
Aku bertanya lagi: Ataukah iqra’ bismi rabbik? Dia menjawab: ‘Aku katakan
kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah S.a.w kepada kami’”.
إِنِّى جَاوَرْتُ
بِحِرَاءَ, فَلَمَّا قَضَيْتُ جِوَارِى نَزَلْتُ فَاسْتَبْطَنْتُ الْوَادِىَ,
فَنَظَرْتُ أَمَامِى وَخَلْفِى وَعَنْ يَمِيْنِى وَشِمَالِى, ثُمَّ نَظَرْتُ إِلَى
السَّمَآءِ فَإِذًا هُوَ – يَعْنِى جِبْرِيْلَ – فَأَخَذَتْنِى رَجْفَةٌ,
فَأَتَيْتُ خَدِيْجَةَ, فَأَمَرَتْهُمْ فَدَثَّرُوْنِىْ. فَأَنْزَلَ اللهُ
[يَاأَيُّهَاالْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ].
“Sesungguhnya aku berdiam diri digua hira. Maka
ketika habis masa diamku, aku turun lalu aku menelusuri lembah. Aku lihat
kemuka, kebelakang, kekanan dan kekiri. Lalu aku lihat kelangit tiba-tiba aku
melihat jibril sangat amat menakutkan. Maka aku pulang ke khadijah. Khadijah
memerintahkan mereka untuk menyelimutiku. Merekapun menyelimutiku. Lalu Allah menurunkan: “wahai orang yang
berselimut, bangunlah dan berilah peringatan”.
Mengenai hadits Jabir ini, dapatlah dijelaskan
bahwa pertanyaan itu mengenai surat yang diturunkan secara penuh. Jabir
menjelaskan bahwa surat Muddassir-lah yang turun secara penuh sebelum
surat Iqra’ selesai diturunkan, karena yang turun pertama sekali dari
surat Iqra’ itu hanyalah permulaannya saja. Hal yang demikian ini juga
diperkuat oleh hadits Abu Salamah dari Jabir yang terdapat dalam Shahih
Bukhari dan Muslim. Jabir berkata:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيْ,
فَقَالَ فِى حَدِيْثِهِ: بَيْنَمَا اَنَاأمْشِى سَمِعْتُ صَوْتَا مِنَ السَّمَآءِ
فَرَفَعْتُ رَأسِى. فَإِذًا اَلْمَلَكُ الَّذِىْ جَاءَنِى بِحِرَاءَ جَالِسٌ عَلَى
كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ, فَرَجَعْتُ, فُقُلْتُ: زَمِّلُوْنِى.
فَدَثَّرُوْنِى. فَأَنْزَلَ اللهُ [يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرْ].
“Aku telah mendengar Rasulullah
S.a.w ketika ia berbicara mengenai terputusnya wahyu, maka katanya dalam
pembicaraan itu: ‘Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu
aku angkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di gua
Hira itu duduk di atas kursi antara langit dan bumi, lalu aku pulang dan aku
katakan: Selimuti aku! Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: Ya
ayyuhal muddassir’”.
Hadits ini menunjukkan bahwa kisah tersebut
lebih kemudian dari pada kisah gua Hira, atau Muddassir itu adalah surat
pertama yang diturunkan setelah terhentinya wahyu. Jabir telah mengeluarkan
yang demikian ini dengan ijtihadnya, akan tetapi riwayat Aisyah lebih
mendahuluinya. Dengan demikian, maka ayat al-Qur’an yang pertama kali turun
secara mutlak ialah Iqra’ dan surat yang pertama diturunkan secara
lengkap dan pertama diturunkan setelah terhentinya wahyu ialah Ya ayyuhal
muddassir, dan surat yang pertama turunya untuk risalah ialah Ya ayyuhal
muddassir dan untuk kenabiannya adalah Iqra’.
3.
Pendapat ketiga ini dinukilkan
dari Wahidi yang menyatakan bahwa ayat yang pertama turun adalah Bismillahirrahmanirrahi, sedangkan
bismillah turun sebagai awal setiap surat. Dan dalil bahwa dua hadis ini
mursal sedangkan pendapat yang pertama yang diperkuat dengan hadis Aisyah lebih
kuat dan tepat serta masyhur.
Disini dapat kita simpulkan bahwa wahyu yang
diturunkan pertama kali dari ayat-ayat al-Qur’an ialah Iqra’ dan wahyu
yang turun pertama kali berupa perintah dakwah al-muddatsir sedangkan awal
turunnya surat ialah surat alfatihah.
c.
Yang Terakhir
Kali Diturunkan
1.
Dikatakan
bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai riba. ini
didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibn Abbas, yang
mengatakan:
“Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba”. Yang dimaksud ialah Firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَذَرُوْا مَابَقِيَ
مِنَ الرِّبَا. (البقرة: 278)
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba
(yang belum dipungut)”. [al-Baqarah [2]:278].
2.
Dan
dikatakan pula bahwa ayat Qur’an yang terakhir diturunkan ialah firman Allah :
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْخَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ. (البقرة: 281)
“Dan peliharalah dirimu
dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu kamu semua
dikembalikan kepada Allah.....” [al-Baqarah [2]:281].
Ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh an-Nisa’i dan
lain-lain. Dari Ibn Abbas dan Sa’id bin Jabair: “Ayat Qur’an yang terakhir kali
diturunkan ialah”: ‘Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada suatu
hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.....’ [al-Baqarah
[2]:281].
3.
Juga
dikatakan bahwa yang terakhir kali turun itu ayat mengenai utang; berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab: “Telah sampai kepadanya
bahwa ayat al-Qur’an yang paling muda di’Asry ialah ayat mengenai utang”. Yang
dimaksud adalah ayat:
يَاأَيُّهَاالَذِّيْنَ آمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ. (البقرة: 282)
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaknya kamu menulisnya...” [al-Baqarah [2]: 282].
Ketiga riwayat itu dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat
tersebut diturunkan sekaligus seperti tertib urutanya di dalam Mushaf.
Ayat yang mengenai riba, ayat peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada
suatu hari kemudian ayat yang mengenai uatang, karena ayat-ayat itu masih
satu kisah. Setiap perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu
sebagian yang terakhir kali. Dan itu memang benar. Dengan demikian, maka ketiga
ayat itu tidak saling bertentangan.
4.
Dikatakan
pula bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat yang mengenai kalalah.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib; Dia berkata: “Ayat
yang terakhir kali turun adalah”:
يَسْتَفْتُوْ نَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلاَلَةِ.
(النسآء: 176)
“Mereka
meminta fatwa kepadamu mengenai kalalah, ketakanlah ‘Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah”. [an-Nisa’[4]: 176].
Ayat yang turun terakhir menurut hadits Barra’ ini adalah
berhubungan dengan masalah warisan.
5.
Pendapat
lain menyatakan bahwa yang terakhir turun adalah firman Allah:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ.
“Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri...” sampai dengan akhir surat.
Dalam Al-Mustadrak disebutkan, dari Ubai bin Ka’b yang
mengatakan: “Ayat terakhir kali diturunkan : Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri...” [at-Taubah [9]: 128-129].
Sampai akhir Surat. Mungkin yang dimaksud adalah ayat terakhir diturunkan
dari Surat at-Taubah. Muslim meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa hadits
ini memberitahukan bahwa surat ini ialah surat yang diturunkan terakhir kali,
karena ayat ini mengisyaratkan wafatnya Nabi Muhammad S.a.w sebagai mana
dipahami oleh sebagian sahabat. Atau mungkin surat ini adalah surat yang
terakhir kali diturunkan.
6.
Dikatakan
pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surat al-Ma’idah. Ini didasarkan
pada riwayat Tirmizi dan Hakim, dari Aisyah r.a Tetapi menurut pendapat kami,
Surat itu surat yang terakhir kali turun dalam hal halal dan haram, sehingga
tak satu hukum pun yang dinasikh di dalamnya.
7.
Juga
Dikatakan bahwa yang terakhir kali
diturunkan adalah firman Allah:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ
أَنِّى لاَ أُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ
مِنْ بَعْضٍ. (آل عمران: 195).
“Maka Tuhan memperkanankan permohonan mereka: ‘Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki
ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang
lain”. (Ali ‘Imran [3]: 195).
Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih
melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun
adalah ayat ini “Maka Tuhan memperkanankan permohonan mereka: ‘Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kaummu...” sampai
akhir ayat tersebut.
Hal itu disebabkan dia (Ummu Salamah) bertanya: Wahai Rasulullah,
aku melihat Allah menyebutkan kaum lelaki akan tetapi tidak menyebutkam kaum
perempuan. Maka turunlah ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari pada sebagian yang
lain”. [an-Nisa’[4]: 32]. Dan turu pula: “Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim”. [al-Ahzab[33]: 35]. Serta ayat ini: “Maka tuhan
mereka...” Ayat ini adalah yang terakhir diturunkan yang didalamnya tidak
hanya disebutkan kaum lelaki secara khusus.
Dari riwayat itu jelaslah bahwa ayat tersebut yang terakhir turun di
antara ketiga ayat diatas, dan yang terakhir yang turun dari ayat-ayat yang didalamnya disebutkan kaum perempuan.
8.
Ada
juga dikatakan bahwa ayat terakhir yang turun ialah ayat :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا
مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا. (النسآء: 93).
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasanya ialah jahannam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. [an-Nisa’i [4]:93].
Ini didasarkan Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan yang lain dari
Ibn Abbas yang mengatakan:
هَذِهِ الْآيَةُ (وَمَنْ يَقْتُلْ
مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ) هِيَ آخِرُ مَانُزِلَ وَمَا
نُسَخَهَا شَيْئٌ.
“Ayat ini (Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja, maka balasanya ialah jahannam) adalah ayat yang terakhir diturunkan
dan tidak dinasikh oeh apa pun”.
Ungkapan ‘ia tidak dinasikh oleh apa pun’ itu menunjukkan bahwa
ayat itu ayat yang terakhir turun dalam hal hukum membunuh seorang mukmin
dengan sengaja’.
9.
Dari
Ibn Abbas dikatakan: “Surat yang terakhir kali diturunkan ialah”.
إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”.
Pendapat-pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w masing-masing merupakan ijtihad dan
dugaan. Mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu memberitahukan mengenai apa
yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin juga masing-masing
mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal
perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surah yang terakhir diturunkan
secara lengkap seperti setiap pendapat yang telah kami kemukakan diatas. Adapun
firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِيْنًا. (المائدة: 3).
“Pada hari ini telah kami sempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agama bagimu”.
[al-Ma’idah [5]:3]. Maka ia diturunkan di Arafah
tahun Haji Perpisahan (Wada’).
Pada lahirnya, ia menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum.
Telah pula diisyaratkan di atas, bahwa riwayat mengenai turunya ayat riba, ayat
utang-piutang, ayat kalalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga Surat al-Ma’idah.
Oleh karna itu, para ulama’ menyatakan kesempurnaan agama di dalam ayat ini.
Allah telah mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka dengan menempatkan mereka di
negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik dari padanya serta menghajikan
mereka dirumah suci tanpa disertai oleh orang musyrik pun; padahal sebelumnya
orang-orang musyrik berhaji pula dengan mereka. Yang demikian itu termasuk
nikmat yang sempurna, “Dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku”.
Qadi Abu Bakar al-Baqalani
dan al-Intisar ketika mengomentari berbagai riwayat mengenai yang
terakhir kali diturunkan menyebutkan: “Pendapat-pendapat ini sama sekali
tidak disandarkan kepada Nabi S.a.w. Boleh jadi pendapat itu diucapkan orang
karena ijtihad atau dugaan saja. Mungkin masing-masing memberitahukan mengenai
apa yang terkhir kali didengarnya dari Nabi. Mungkin juga ayat itu yang
dibacakan terakhir kali oleh Rasulullah S.a.w bersama-sama dengan ayat-ayat
yang turun di waktu itu, sehingga disuruh untuk dituliskan sesudahnya, lalu
dikiranya ayat itulah yang terkhir diturunkan menurut tertib urutanya”.
4.
Daftar kronologi Al-Qur’an
Berikut adalah daftar surah-surah Al-Qur'an berdasarkan kronologi turunnya
a.
Periode Mekah
|
1.
|
Al-'Alaq
|
30.
|
Al-Qiyamah
|
59.
|
Al-Mukmin
|
|
2.
|
Al-Qalam
|
31.
|
Al-Humazah
|
60.
|
As-Sajdah
|
|
3.
|
Al-Muzammil
|
32.
|
Al-Mursalat
|
61.
|
Asy-Syura
|
|
4.
|
Al-Muddatstsir
|
33.
|
Qaf
|
62.
|
Az-Zuhruf
|
|
5.
|
Al-Masad
|
34.
|
Al-Balad
|
63.
|
Ad-Dukhan
|
|
6.
|
At-Takwir
|
35.
|
Ath-Thariq
|
64.
|
Al-Jatsiah
|
|
7.
|
Al-A'la
|
36.
|
Al-Qamar
|
65.
|
Al-Ahqaf
|
|
8.
|
Al-Lail
|
37.
|
Shad
|
66.
|
Adz-Dzariyat
|
|
9.
|
Al-Fajr
|
38.
|
Al-A'raf
|
67.
|
Al-Ghasyiah
|
|
10.
|
Adh-Dhuha
|
39.
|
Al-Jin
|
68.
|
Al-Kahfi
|
|
11.
|
Asy-Syarh
|
40.
|
Yasin
|
69.
|
An-Nahl
|
|
12.
|
Al-'Asr
|
41.
|
Al-Furqan
|
70.
|
Nuh
|
|
13.
|
Al-'Adiyat
|
42.
|
Al-Malaikah
|
71.
|
Ibrahim
|
|
14.
|
Al-Kautsar
|
43.
|
Maryam
|
72.
|
Al-Anbiya'
|
|
15.
|
At-Takatsur
|
44.
|
Thaha
|
73.
|
Al-Mukminun
|
|
16.
|
Al-Ma'un
|
45.
|
Al-Waqi'ah
|
74.
|
Fusshilat
|
|
17.
|
Al-Kafirun
|
46.
|
Asy-Syu'ara
|
75.
|
Ath-Thur
|
|
18.
|
Al-Fil
|
47.
|
An-Naml
|
76.
|
Al-Mulk
|
|
19.
|
Al-Falak
|
48.
|
Al-Qasas
|
77.
|
Al-Haqah
|
|
20.
|
An-Nas
|
49.
|
Bani Israil
|
78.
|
Al-Ma'arij
|
|
21.
|
Al-Ikhlas
|
50.
|
Yunus
|
79.
|
An-Naba'
|
|
22.
|
An-Najm
|
51.
|
Hud
|
80.
|
An-Nazi'at
|
|
23.
|
'Abasa
|
52.
|
Yusuf
|
81.
|
Al-Infithar
|
|
24.
|
Al-Qadr
|
53.
|
Al-Hijr
|
82.
|
Al-Insyiqaq
|
|
25.
|
Asy-Syams
|
54.
|
Al-An'am
|
83.
|
Ar-Rum
|
|
26.
|
Al-Buruj
|
55.
|
Ash-Shafat
|
84.
|
Al-Ankabut
|
|
27.
|
At-Tin
|
56.
|
Luqman
|
85.
|
Al-Muthaffifin
|
|
28.
|
Quraisy
|
57.
|
Saba'
|
||
|
29.
|
Al-Qari'ah
|
58.
|
Az-Zumar
|
b.
Periode Madinah
|
86.
|
Al-Baqarah
|
96.
|
Ar-Rahman
|
106.
|
Al-Hujurat
|
|||||
|
87.
|
Al-Anfal
|
97.
|
Al-Insan
|
107.
|
At-Tahrim
|
|||||
|
88.
|
Ali Imran
|
98.
|
Ath-Thalak
|
108.
|
Al-Jum'ah
|
|||||
|
89.
|
Al-Ahzab
|
99.
|
Al-Bayyinah
|
109.
|
At-Taghabun
|
|||||
|
90.
|
Al-Mumtahanah
|
100.
|
Al-Hasyr
|
110.
|
Ash-Shaf
|
|||||
|
91.
|
An-Nisa'
|
101.
|
An-Nasr
|
111.
|
AI-Fatihah
|
|||||
|
92.
|
Az-Zalzalah
|
102.
|
An-Nur
|
112.
|
Al-Maidah
|
|||||
|
93.
|
Al-Hadid
|
103.
|
Al-Haj
|
113.
|
||||||
|
94.
|
Al-Qital
|
104.
|
Al-Munafiqun
|
|||||||
|
95.
|
Ar-Ra'd
|
105.
|
Al-Mujadalah
|
|||||||
5.
Korelasi (Munasabah) antar bagian-bagian
al-Qur’an
A.
Pengertian
Munasabah
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan
yang berarti musyakalah (keserupaan). dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah
secara etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur’an bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan)
pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan
para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah
satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada
bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan
lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat
dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan
antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau
antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut M. Hasbi Ash Shiddiq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat
atau antar ayat saja.
Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang
membahas hikmah korelasi urutan ayat al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran
manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat
diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap
rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan al-Qur’an sebagai wahyu.
B.
Macam-Macam
Munasabah
1.
Ditinjau dari sifatnya,
munasabah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
a.
Pertama, zhahirul irtibath, yang artinya munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an
yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat
yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu
materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambung,
penjelas, pengecualian, atau pembatas dengan ayat yang lain. Sehingga semua
ayat menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebagai contoh,
adalah hubungan antara ayat 1 dan 2 dari surat al-Isra’, yang menjelaskan
tentang di-isra’-kannya Nabi Muhammad saw, dan diikuti oleh
keterangan tentang diturunkannya Taurad kepada Nabi Musa as. Dari kedua ayat
tersebut tampak jelas bahwa keduanya memberikan keterangan tentang diutusnya
nabi dan rasul.
b.
kedua, khafiyul irtibath,
artinya munasabah ini
terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga
tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan tampak masing-masing
ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun
karena yang satu bertentangan dengan yang lain.
Hal tersebut tampak dalam 2 model, yakni, hubungan yang ditandai dengan
huruf‘athaf, sebagai contoh, terdapat dalam surat
al-Ghosyiyah ayat 17-20 :
أَفَلاَ
يَنْظُرُوْنَ إِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ, وَإِلَى السَّمَآءِ كَيْفَ
رُفِعَتْ, وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ, وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ
سُطِحَتْ. (الغاشية: 17-20).
“Maka apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan. Dan langit, bagaimana
ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan. Dan bumi, bagaimana
dihamparkan” [al-Gasiyah [88]: 17-20].
Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut
sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal hakikatnya saling
berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan bumi
pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di
kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka
sangat tergantung pada ternak (unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa
berlangsung kecuali dengan adanya air yang diturunkan dari langit untuk
menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan mereka memerlukan
gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta mencari
rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bumi yang
luas.
Sedangkan model yang kedua, adalah
tanpa adanya huruf ‘athaf, sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti
keterkaitan ayat-ayat, berupa perhubungan secara maknawi. Dalam hal ini ada 3
(tiga) jenis : Tanzhir atau hubungan
mencerminkan perbandingan, Mudhaddah atau hubungan yang mencerminkan
pertentangan, Istithrad atau
hubungan yang mencerminkan keterkaitan suatu persoalan dengan persoalan lain.
2.
Ditinjau dari segi materi,
dapat dibagi menjadi dua, yaitu
a.
Pertama, munasabah antar ayat dalam al-Qur’an, yaitu
hubungan atau persesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain. Dengan
penjelasan dan contoh yang telah penulis kemukakan di atas.
b. Kedua, munasabah antar surat. Dalam hal ini muhasabah antar surat dalam al-Qur’an memiliki
rahasia tersendiri. Ini berarti susunan surat dalam al-Qur’an disusun dengan
berbagai pertimbangan logis dan filosofis. Adapun cakupan korelasi antar surat
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Hubungan antara nama-nama
surat. Misalnya surat al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat an-Nur,
lalu diteruskan dengan surat al-Furqon. Adapun korelasi nama surat tersebut
adalah orang-orang mu’min berada di bawah cahaya (nur) yang menerangi
mereka, sehingga mereka mampu membedakan yang haq dan
yang bathil.
2.
Hubungan antara satu surat
dengan surat yang lain. Misalnya pembukaan surat al-An’am
dengan al-hamdu.
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ والنُّوْرَ. (الأنعام 1)
“Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (al-An’am [6]:1)
Ini
sesuai dengan penutupan surat al-Ma’idah yang
menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasanya:
إِنْ
تُعَذِّ بْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْلَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ
الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ.
(المائدة
:118 – 120 )
“jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka,
sesungguhnya Engkau Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana....” (al-Ma’idah
[5]:118-120).
Hal
ini seperti difirmankan Allah:
وَقُضِىَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيْلَ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. (الزمر : 75 )
“Dan
diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: ‘Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (az- Zumar [39]: 75).
Demikian
pula Pembukaan Surat al-Hadid yang dibuka dengan tasbih:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِى السَّمَوَاتِ
وَلْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ. (الحديد : 1)
“Semua
yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dan Dia-lah Yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (al-Hadid [57]:1).
Pembukaan
ini sesuai dengan akhir surat al-Waqi’ah yang memerintahkan tasbih
فَسَبِّحْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ. (الواقعة : 96 )
“Maka
bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Mahabesar.” (al-Waqi’ah
[56]:96).
Begitu
juga hubungan antara surat Li ilafi Quraisy dengan surat al-fil. Ini
Karena kebinasaan ‘tentara gajah’ mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan
perjalanan pada musim dingin dan musim panas; sehingga al-Akhfasy menyatakan
bahwa hubungan antara kedua surah ini termasuk hubungan sebab-akibat dalam
firman Allah:
فَالْتَقَطَهُ
آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا. (القصص : 8 )
“Maka
dipungutlah ia (Musa)oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan
kesedihan bagi mereka.” (al-Qashsha [28]:8).
3.
Hubungan antar awal surat
dan akhir surat. Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat
dan akhirannya. Misalnya, dalam surat al-Qashash. Surat ini dimulai
dengan menceritakan Nabi Musa A.S, menjelaskan langkah awal dan pertolongan
yang diperolehnya; kemudian mencerikatan perlakuanya ketika ia mendapatkan dua
orang laki-laki sedang berkelahi.
Allah
mengisahkan do’a Nabi Musa :
قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ
أَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِلْمُجْرِمِيْنَ. (القصص 17).
“Musa berkata: ‘Ya Tuhanku, demi nikmat
yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi
penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (al-Qashash [28]:17).
Kemudian surat ini diakhiri dengan
menghibur rasul kita muhammad bahwa ia akan keluar dari Mekkah dan dijanjikan
akan kembali lagi ke Mekkah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang
kafir :
إِنَّ
الَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَآدُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُلْ رَبِّيْ
أَعْلَمُ مَنْ جَآءَ بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِى ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ وَمَاكُنْتَ
تَرْجُوْ أَنْ يَّلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلاَّرَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ فَلاَ
تَكُوْنَنَّ ظَهِيْرًا لِلْكَافِرِيْنَ. (القصص 58-86).
"Sesungguhnya
yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum-hukum) Qur’an, benar-benar
akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (yaitu kota mekkah). Katakanlah :
‘Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan
yang nyata.’ Dan kamu tidak pernah mengharap agar Qur’an diturunkan kepadamu,
akan tetapi ai (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari Tuhanmu, oleh sebab
itu janganlah sekali-kali menjadi penolong bagi orang kafir.” (al-Qashash
[28]:85-86).
4.
Hubungan antara dua surat
dalam soal materi dan isinya. Misalnya antara surat al-Fatihah dan
surat al-Baqarah. Yang mana dalam surat al-Fatihah berisi tema global tentang
aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman. Sedangkan dalam surat al-Baqarah
menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi surat al-Fatihah
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
1.
Kronologi adalah isltilah yang
diambil dari bahasa Yunani, Chronos yang artinya waktu dan Logi yang artinya
ilmu. Maka disimpulkan Kronologi al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang
urutan turunya al-Qur’an/sebuah kejadian (al-Qur’an) pada waktu tertentu.
2.
Surah-surah al-Qur’an disusun
dalam mushaf tidak berdasarkan petunjuk rasulullah tetapi dilakukan berdasarkan
pertimbangan para sahabat, Oleh karena penyusunan surat berdasarkan ijtihad
itulah, maka trejadi perbedaan dalam kronologi mushaf-mushaf yang dimiliki oleh
beberapa sahabat.
3.
Pembahasan tentang awal dan akhir
turunnya ayat mencakup dua hal: pertama, mengetahui awal dan akhir
turunnya ayat secara mutlaq. Kedua mengetahui contoh-contoh awal yang
turun dari hukum tasyrie dan yang turun terakhir seperti dengan idhafah
(tambahan), takhsis (pengkhususan) atau taqyied (kata atau
kalimat yang mengikat).
4.
Surat atau ayat yang permankali
diturunkan dan yang paling shahih adalah Iqra’
5.
Menurut penulis ayat atau surat yag terakhir
diturunkan adalah Ali ‘Imran [3]: 195. Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih
melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun
adalah ayat ini “Maka Tuhan memperkanankan permohonan mereka: ‘Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kaummu...” sampai
akhir ayat tersebut.
6.
Munasabah secara etimologis
disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur’an bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia yang menjadi teka-teki akal pikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan)
pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan
para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah
satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada
bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan
lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat
dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Qur’an, (Rosdakarya: Bandung
1992).
2.
KH. M. Arwani Amin, Al Qur’an Al
Quddus, (Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, PT. Buya Barokah, 2003).
3.
Drs. H. M. Sholahuddin Hamid, M. A,
Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Intimedia, 2002).
4.
Drs. Mudzakir As, Studi ilmu-ilmu
Qur’an, (Bogor, PT.Pustaka Litera Antarnusa, 2007).
Komentar
Posting Komentar